Pengalamanku hari ini membuatku
ingin tersenyum jika mengingatnya. Pagi-pagi selesai aktifitas rutinan aku
selesaikan daftar pustaka buku dosenku yang rencananya pagi ini akan aku
konsultasikan hasil pekerjaanku. Sekitar pukul 07.00 aku siap-siap mandi
kemudian dzuha’an. Aku pikir jam segitu tukang tambal ban sudah buka ya, karena
sepedaku kempes dan tidak mungkin aku berangkat jalan kaki. Lumayan jauh,
tempat tinggalku dengan rumah dosenku.
Pukul 07.30 aku
berangkat. Sengaja berangkat lebih awal karena memang tak niati untuk mompakan
sepeda dulu sambil berangkat. kurang beruntungnya aku, sudah lumayan jauh aku
berjalan, eeeeehhhhh Pak Tukang tambal ban belum ada ditempat. Carilah aku
tukang tambal ban yang lain, yang ternyata hasilnya sama-sama nihil. Aku
putuskan kembali pulang saja, gak apa aku berjalan sambil olah raga pagi.
Sampai di tempat kos aku ketemu dengan Bapak sebelah tempat kosku. Aku tanyakan
kepada beliau kira-kira dimana saya bisa mompakan sepeda jam segini. Beliau
memberi tahukan di pojok jalan raya sana ada. Ya sudah, tanpa berpikir panjang
aku menuju ke jalan raya.
Sampailah aku di jalan
raya, dengan seidkit kebingungan aku menoleh kanan dan kiri. Dimana bengkel
sepeda yang dimaksud bapak tadi. Yang ada didepanku itu bukan bengkel sepeda,
melainkan bengkel sepeda motor yang lumayan besar. Aku bilang besar karena
banyak mekaniknya, tidak Cuma 4 atau 5 orang saja. Selain itu di bengkel
tersebut sepertinya khusus motor, gak ada satupun sepeda disana.
Bebrapa saat aku diam
saja dipinggir jalan sambil nunggu jalanan sepi. Karena sudah tak ada pilihan
lain, akhirnya dengan memebranikan diri aku menuju bengkel tersebut. MasyaAllah
rasa malunya aku ketika memasuki kawasan bengkel tersebut. Mekaniknya banyak,
masih muda-muda, meski ada beberapa yang sudah terlihat bapak-bapak meski aku
gak tahu sudah menjadi bapak atau belum. Hampir semua mata tertuju padaku,
mulai dari pemilik bengkel yang seorang perempuan paruh baya keturunan Cina,
mekanik-mekanik muda, dan beberapa orang pengunjung yang sedang menunggu
kendaraanya di service. Mungkin mereka berpikir kenapa anak perempuan, bawa
sepeda datang ke bengkel motor. Mau ngapain?
Sudah takku pedulikan
pandangan mereka, dengan belaga kekanak-kanakan untuk menutupi rasa maluku aku
berjalan bak gak ada yang aneh menuju salah seorang mekanik yang sedang
duduk-duduk menunggu pasien datang. Beruntunglah ada mekanik yang kelihatanya
sudah bapak-bapak, jadi aku tidak seberapa malu.
“Pak, bisa mompakan
sepeda?” tanyaku kepda beliau?
“Ban sepeda apa ban motor
mbak?”
“Ban sepeda Pak.” Jawabku
dengan nada kekanak-kanakan.
“Waduh mbak, kalau ban
sepeda disini gak bisa. Coba di tukang tambal ban sebelahnya pom bensin saja.”
“Ya, Pak. Saya tadi sudah
kesana tapi masih belum dibuka. Kemudian ada yang memberi tahu saya dibengkel
pojokan sana. Saya bingung yang dimaksud bengkel pojokan itu bengkel yang mana?
Yang saya lihat sudah dibuka bengkel sini, jadi saya kesini.”
Seprtinya belaiu cukp
kasian dengan aku yang sudah berjalan cukp jauh dengan menuntun sepeda mencari
tempat untuk mompakan sepeda. Beliau memberi tahuku supaya mengganti ban sepedaku
dengan ban yang bisa dipompa menggunakan pompa motor. Aku jawab saja ya,ya
gitu. Padahal sepedaku baik-baik saja kenapa harus diganti banya, pikirku dalam
hati.
“Mau kemana sih mbak? Mau
kuliah?”
“Tidak Pak, mau ketempat
dosen untuk konsultasi pekerjaan, jawabku.”
“Dimana?”
“Di jalan Jakarta Pak.”
“Wah, cukup jauh juga,
sebentar kalau gitu. Tak coba’e pakai ini siapa tahu bisa.”
Beliau mencoba memompa
sepedaku menggunakan pompa motor dilapisi kain. Makanik-mekanik yang lain
mengejeki beliau, katanya ada-ada saja.
“Gak apa e, kasian aku
melihatnya. Soale aku juga punya anak perempuan, rasanya gak tega saja. Ya,
siapa tahu ini bisa.”
Setelah ban dipersiapkan
untuk dipompa,,,,,, dan ternyata Alhamdulillah..... bisa dipompa dengan pompa
motor. Keren jug bapak ini, tak salah aku datang dan memalingkan rasa maluku ke
bengkel ini.
“Cik, tu lihat. Bisa kan?
Tak sia-sia kucoba.” Teriak beliau kepada permpuan paruh baya yang aku
sangkakan sebagai mandor sekaligus pemilik bengkel tersebut.
“Alhamdulillah, akhirnya bisa
Pak. Trimkasih Pak, berapa saya harus......”
Belum selesai aku bertanya, beliau sudah menggelengkan
kepala. Tak usah, bawa saja sepedanya. “Alhamdulillah,,,”
Dengan rasa senang
bercampur malu kutinggalkan bengkel itu. sesegera aku mengayuh sepedaku menuju
rumah dosenku.
Yang bisa kuambil dari
pengalaman tadi adalah ternyata, tak selamanya bersikap kekanak-kanakan itu
tidak dihargai orang. Malah bisa jadi akan membuat orang merasa simpatik. Ya,
seperti bapak tadi, beliau merasa kasian karena teringat anak perempuanya
dirumah. Bolehlah, sekali waktu bersikap kekanak-kanakan, tak selamanya
perempuan harus terlihat anggun dan bijak. Tapi, jangan sampai itu
terus-terusan karena itu kurang sesuai dengan usia yang sudah berkepala 2.
Jangan kaku dalam bergaul, harus bisa fleksibel dan mengerti sikon yang sedang
dihadapi. Selain itu harus bisa menyesuaikan dengan siapa lawan bicara, atau
lawan berinteraksi kita.
No comments:
Post a Comment
terimakasih atas komentarnya, semoga bisa memperbaiki untuk kedepanya.