Thursday, 20 July 2017

Keluarga muslim Ideal

Setiap muslim- muslimah yang lajang maupun telah berumah tangga tentu mendambakan memiliki dan membina keluarga ideal secara islami. Kenapa disini saya menyebut keluarga ideal, karena untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Terkadang antara idealita yang kita cita-citakan dan realita yang ada tidak sesuai. Meski demikian tidak lantas kita pesimis kemudian tidak berusaha dan membiarkan begitu saja. Selayaknya kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan rumah tangga islami sehingga menjadi keluarga ideal secara islam.
Keluarga ideal didefinisikan sebagai keluarga yang diliputi oleh sakinah (ketenteraman), mawaddah (rasa cinta) dan rohmah (kasih sayang). Di dalam keluarga terdapat interaksi yang harmonis antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing anggota keluarga memerankan peran yang sesuai. Ayah sebagai kepala keluarga bertanggung jawab penuh atas keluarga beserta anggota yang dipimpinnya, ibu sebagai kepala urusan rumah tangga bertangung jawab atas urusan di dalam rumahnya, anak-anak berbakti kepada orang tua dan semuanya beriman serta bertaqwa kepada Allah.
Mewujudkan keluarga ideal secara islami dimulai dari memilih pasangan hidup. Hadith Rasulullah yang menjelaskan kriteria memilih pasangan hidup adalah sebagai berikut, “Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, engkau akan beruntung.” (HR. Bukhori, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hambal, dan Ad-darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah). Hadith ini menjelaskan kepada kita bahwa memilih pasangan hidup yang utama adalah karena agamanya.
Ketika kita telah memiliki pasangan hidup maka selanjutnya kita tentukan visi dan misi keluarga. Jika dahulunya seorang lajang memiliki visi dan misi dalam hidupnya, setelah berumah tangga maka selayaknya visi misi tersebut dikomunikasikan dengan pasangan. Masing-masing tentu akan saling melengkapi dan menyempunakan, sehingga visi misi tersebut bukan lagi menjadi milik individu namun menjadi tugas bersama dalam mewujudkannya. Mungkin ada yang merasa bingung seperti apa visi misi keluarga itu, sedikit saya contohkan berikut. Jika saya sebelum menikah memiliki visi menjadi muslimah yang shalihah, cerdas dan mandiri secara materi, misi saya diantaranya adalah kuliah sampai magister, memiliki usaha mandiri, aktif dalam kegiatan sosial, serta rajin mengikuti kajian ilmu. Setelah menikah maka visi saya menjadi istri dan ibu yang shalihah bagi keluarga. Misi yang saya buat antara lain adalah memperbanyak ilmu tentang keluarga, belajar memasak, belajar menjahit, aktif dalam kegiatan kajian di masyarakat sekitar.
Visi dan misi yang telah disepakati bersama selanjutnya direalisasikan dalam kehidupan nyata. Jangan membayangkan dalam merealisasikannya selalu mulus dan lancar. Ada banyak kendala dan halangan baik yang datang dari faktor internal seperti malas, lelah, maupun faktor eksternal seperti dukungan dari suami, fasilitas yang memadai, serta ekonomi keluarga yang pas-pasan.
Rumah tangga yang baru dibina sangatlah rentan dengan permasalahan yang terkadang jika dinilai bukanlah sebuah masalah, hanya penyikapannya yang kurang tepat. Misalnya saja kebiasaan dan pola makan. Seorang laki-laki yang dulunya hidup bersama orang tua terbiasa dengan sayur lodeh, kerupuk selalu tersedia dimeja makan, tiba-tiba istrinya menyiapkan makan dengan sayur bening dan sambal. Dalam hati laki-laki itu dongkol shingga makannya tidak lahap. Istri yang mendapati suaminya tidak lahap kemudian kecewa dan bersedih. Nah permasalahan sepele namun menyebabkan kurangnya harmonis dalam sebuah ruah tangga. Jika antara suami istri dalam berumah tangga tidak saling toleransi dan terjalin komunikasi yang hangat, masalah sepele dapat menjadi besar karena tidak tepat dalam menyikapi.
Kehadiran buah hati yang dinantikan dapat semakin mengharmoniskan hubungan antara suami istri. Kematangan emosinya pun semakin baik karena telah menjadi seorang ayah ibu bagi putra-putrinya. Pendidikan bagi anak dan teladan pada setiap aktifitas menjadikan prioritas utama ketika putra-putrinya dalam masa perkembangan. Disinilh ditanamkan aqidah yang benar dan keimanan agar kelak putra-putri kita menjadi generasi rabbani yang beriman dan bertaqwa. Ketika dewasa ia telah siap mandiri dengan bekal yang telah kita berikan, tanpa mengabaikan usahanya sendiri dalam mengembangkan diri.

Rumah tangga yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan, maka akan menjadikan keluarga dan anggotanya senatiasa diliputi sakinah, mawaddah dan rohmah. Bagaimanapun mewujudkan keluarga muslim yang ideal tidaklah mudah, namun tetap harus berusaha dengan sungguh-sungguh sebelum membina keluarga, saat berkeluarga sampai waktu Allah telah memanggil kita menghadap-Nya. Semoga kita senantiasa diberikan kemampuan untuk istiqomah. Amin...
Menikah muda? Kenapa tidak?

Judul yang saya angkat mungkin terasa menantang bagi sebagian orang, dan terasa menggelitik bagi sebagian yang lain. Kenapa saya sebut menantang bagi sebagian orang, karena selama ini masih banyak yang beranggapan bahwa menikah diusia muda identik dengan pernikahan dini yang diakibatkan oleh virus MBA (Merriage by Accident). Selain itu faktor kemapanan masih lagi diperhitungkan oleh para orang tua. Meskipun masih ada juga orang tua yang tidak terlalu memperhitungkan tingkat kemapanan putra putrinya, mungkin dari 10 hanya ada 1 yang demikian. Menantangkah menurutmu? Kalau menurut saya sangat menantang.
Apakah seharusnya kita menikah muda? Jawaban saya “tidak juga”. Ada kalanya menikah adalah sebuah kewajiban, yaitu ketika seseorang memiliki hasrat seksual yang kuat dan ia khawatir dapat terjerumus zina. Hukumnya menjadi sunnah ketika seseorang memiliki keinginan menikah dan memiliki kemampuan materi yang cukup untuk menikah. Jika seseorang memiliki keinginan menikah namun belum mampu secara materi untuk menikah, maupun memiliki materi cukup untuk menikah namun belum memiliki keinginan untuk menikah hukum menikah baginya menjadi makruh. Sedangkan seseorang yang tidak mampu menunaikan hak istri maka hukum menikah baginya adalah haram.
Sebagian masyarakat kita memiliki anggapan bahwa seseorang yang menikah diusia muda diakibatkan oleh virus MBA (Merriage by Accident). Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan tersebut, namun tidak ada salahnya kita sebagai peubah anggapan masyarakat yang demikian. Bahwa tidak semua yang menikah muda diakibatkan oleh virus MBA (Merriage by Accident), namun bertekad menjaga kehormatan dengan jalan halal sebuah pernikahan.
Keuntungan yang kita peroleh saat memutuskan menikah muda antara lain adalah menyelamatkan dari perkara yang mengarah zina, menikmati indahnya pacaran pasca penikahan bukan sebaliknya, menunudukkan pandangan terhadap lawan jenis, menjaga hati dan pikiran, membentuk kematangan emosi bersama pasangan, saling mendukung dalam mewujudkan karir dan impian, serta memiliki kesempatan memperoleh keturunan lebih besar.
Nah sekarang batasan usia muda itu berapa? Menurut wikipedia.org masa muda adalah seseorang yang berada pada rentang usia 17 sampai 25 tahun. Pada usia menjelang 20an tahun seseorang berada pada tahap dewasa awal menurut ilmu psikologi. Pada fase dewasa awal ini seseorang mengalami transisi fisik (physically trantitiopn), transisi intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition). Pada fase dewasa awal inilah seseorang tepat dalam menjalin hubungan intim dan berkomitmen dalam sebuah ikatan pernikahan. Dari segi emosional seseorang pada fase ini memiliki motivasi untuk mencapai sesuatu yang besar didukung oleh kemampuan fisik yang prima. Perkembangan fisik sesudah masa ini akan mengalami degradasi yang berangsur-angsur mengikuti usia yang semakin bertambah.

Tantangan apa sajakah ketika kita mengambil keputusan untuk menikah muda dan bagaimana solusinya? Simak artikel selanjutnya ya....